Sustainable Leadership?

Sabtu itu aku dateng kepagian lagi. Kuliah masuk jam setengah sembilan tapi aku udah nyampe parkiran jam delapan seperempat. Ya udah, daripada gaje mendingan masuk kelas aja. Pas naik ke lantai dua sih sempet ragu, antara masuk kelas atau buka laptop di lounge sambil nunggu yang laen dateng. “Ah, palingan di kelas juga kosong. Mendingan ke kelas aja, kan bisa sekalian nyalain lampu dan AC”, kataku dalam hati. Ternyata, salah dong. Kaget juga pas masuk kelas lampu udah nyala dan udah ada orang di sana.

“Assalamu’alaykum!”, aku spontan ngucapin salam. “Wa’alaykum salaam”, jawab singkat perempuan berhijab itu. Aku bisa menebak kalo ini dosennya. Gak mungkin mahasiswa gabungan dari kelas lain. Aku langsung duduk dan membuka laptopku. Untuk beberapa saat kami hanya saling terdiam dan sibuk dengan urusan masing-masing. Aku? Harus memulai percakapan? Aduh, maaf ya, thanks but no thanks. Ladies first. Aku lanjut lah dengan buka-buka LMS, persiapan materi buat kuliah. Akhirnya, Bu Dosen yang membuka percakapan lebih dulu hingga terjadilah dialog biasa: introduction, traffic jam, so so.

Jarum jam menunjuk angka sembilan empat lima dan geng kelas belum ada yang nongol juga. Akhirnya aku kirim pesan di group chat dengan nada sedikit drama, “Gengs! Udah ditunggu dosen di kelas nih. Buruan nasuk!”. Akhirnya satu per satu mereka pun bermunculan.

Kuliah pun dimulai. Materi waktu itu adalah tentang Sustainable Leadership. Oke, aku coba ikutin ini kuliah ngebahas apa sih. Ternyata, makin ke sini makin ke sana bahasannya makin menarik nih. Karena katanya, sustainable itu sering dikaitkan dengan keberlangsungan dan identik dengan kelestarian lingkungan, udah gitu salah satu faktornya adalah kebijakan pemerintah. Wait, what?

Aku pikir sustainable leadership itu kepemimpinan yang terus berlangsung beberapa periode, yang kalo bapaknya udah mau lengser lanjut diganti sama ibunya, anaknya, menantunya, terus someday diterusin lagi sama cucunya gitu. Eh ternyata yang ini kaitannya sama isu lingkungan. Sementara, pas berangkat tadi di jalan aku dengerin wawancara di radio antara penyiar dan aktivis dari WALHI dan Greenpeace Indonesia. Mereka juga ngebahas UU Cipta Kerja yang kontroversial itu. Kan makin greget ya?

Kita semua tahu kalo Indonesia itu adalah negara tropis ketiga terbesar di dunia, punya suara yang cukup didengar secara global. Tapi, predikat itu mungkina gak akan lama lagi. Greenpeace menyoroti tentang terus menyusutnya luas ‘paru-paru dunia’ di Kalimantan dari tahun ke tahun dan sekarang ditambah lagi dengan pembangunan IKN. Jadi, nyambungnya sustainable leadership sama kebijakan pemerintah ini sebelah mana coba? Bukannya kalo sekarang, orientasi pengusaha aja udah bukan cuma profit doang, tapi juga dua ‘p’ yang lain yaitu people dan planet? Ya kan katanya juga kalo penguasa Indonesia yang sekarang ini adalah para pengusaha, yang gembar-gembornya nyari investor sebanyak-banyaknya, yang ngejarnya profit terus. Tapi kalo mengesampingkan people dan planet, gak usah heran sama fenomena warga yang membelot dari orang yang udah tahunan menyisihkan dua sampai dua setengah juta per bulan buat biayain pengairan mereka terus dengan mudahnya berpaling ke orang yang ‘nembak dengan serangan fajar’ pake receh dua puluh ribuan. Belum lagi bencana alam yang makin parah, yang mulai melanda daerah-daerah yang sebelumnya baik-baik aja. Jiwa mahasiswaku meronta, Saudara-Saudara!

Sayangnya, kuliah ini cuma 2 SKS yang juga harus didiskon durasinya selama Ramadhan. Semua yang aku pikirkan tadi tak sempat didiskusikan dengan dosen dan teman kelasku, sehingga berakhirlah ia dalam tulisan ini. Tapi bukan berarti kita harus berhenti bersikap kritis dan skeptis terhadap kondisi bangsa. Waspada, posisi elit dan mapan memang justru malah membatasi. “Ngapain capek-capek mikirin orang lain? Pikirin aja gimana caranya anak cucu sendiri besok lusa bisa hidup nyaman”. Sepicik itu. Kayak gitu kan bahaya ya…

Akhirnya aku cuma bisa kembali ke kenyataan bahwa aku cuma mahasiswa veteran. Aku cuma bisa membantu berjuang dengan selemah-lemahnya kekuatan, yaitu doa. Tulisan ini, ah ini mah cuma tulisan ngelantur aja. Syukur-syukur bisa menyadarkan mahasiswa lain yang masih muda-muda yang katanya calon pemimpin masa depan, bahwa memprioritaskan kesejahteraan bangsa sekaligus menjaga kelestarian alamnya adalah sebuah paradigma yang tidak akan pernah usang. Harus tetap dinyalakan, Abangkuh! Apalagi kalo kamu seorang anak sultan, kamu bisa dengan sangat mudah memborong beras dari petani dengan harga tinggi, terus jual lagi ke masyarakat dengan harga merakyat. Jangan ditimbun! Kalo iya, itu sama aja dengan pola pikir mereka yang orientasinya profit-profit terus. Tren dan fokus orang aja sekarang udah bukan cuma SDGs tapi ESG, lah terus kita mau di situ-situ aja? Come on, People! Apalagi kalian yang punya privilege, jadilah philantrophist!


Comments

Leave a Reply